Kamis, 23 Februari 2012

MAKALAH PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN BAGI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN BAGI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA


DI SUSUN

OLEH:


NAMA                       : NUR INDRAWAN
KELAS                      : AKUNTANSI. C
NIM                            : 10.12.158




SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)
TRI DHARMA NUSANTARA  MAKASSAR
2011

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoneseia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama”  berbagai media di tanah air.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

1.2 Perumusan Masalah
             Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah penegakan hukum itu?
2.      Apakah itu kejahatan HAM sebagai pelanggaran HAM yang berkategori berat?
3.       Bagaimanakah upaya perlindungan  HAM itu?




BAB II
ANALISIS PERMASALAHAN

2.1 Penegakan Hukum
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me­lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng­keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu­tion). Bah­kan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat­an pe­ne­gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di­mak­sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma­tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se­gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be­nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti­nya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me­nyang­kut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau pe­nyimpangan terhadap peraturan perundang-undang­an, khu­susnya –yang lebih sempit lagi— melalui proses per­adil­an pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, ke­jak­saan, advokat atau pengacara, dan badan-badan per­adilan.
Karena itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranan­nya sangat menonjol dalam proses penegakan hu­kum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para pe­ne­gak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian perso­alan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, peja­bat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau orga­nisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kaca­mata kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinsti­tusio­na­lisasikan secara rasional dan impersonal (institutio­na­lized). Namun, kedua perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i) legislator (politisi)[1], (ii) perancang hukum (legal drafter), (iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii) jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut, diperlukan sistem sertifikasi na­sional dan standarisasi, termasuk berkenaan dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pen­didikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda pengembangan kualitas profesional di kalang­an profesi hukum ini perlu dipisahkan dari program pembi­naan pegawai administrasi di lingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesi­nambung­an. Di samping itu, pem­bi­naan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dila­kukan melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesi­nya masing-masing, seperti Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia, dan sebagainya.
Di samping itu, agenda penegakan hukum juga me­mer­lukan kepemimpinan dalam semua tingkatan yang me­menuhi dua syarat. Pertama, kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemim­pinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan bagi ling­kungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integri­tas kepri­badian orang yang taat aturan.
Salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education). Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum dalam masyarakat, nonsens suatu norma hukum da­pat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pem­bu­dayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka perwujudan ide nega­­ra hukum di masa depan. Beberapa faktor yang terkait de­ngan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sis­tem dan infra struktur informasi hukum yang berbasis tek­nologi informasi (information technology); (b) pening­katan Upaya Publikasi, Ko­munikasi dan Sosialisasi Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan citra dan keteladanan-keteladanan di bi­dang hukum.
Oleh karena itu, memahami hukum secara kompre­hen­sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang ada hen­daklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
2.1 Kejahatan HAM sebagai pelanggaran HAM yang berkategori berat
Dengan bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka. Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaanya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi setelah amandemen kedua       (18 Agustus 2000) terdapat pada Bab X, Bab XA,Bab XI, Bab XII, dan Bab XIII.
Dalam perspektif nilai-nilai universal, kejahatan atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan hal baru. Nilai-nilai HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri setiap manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan , dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Dalam konteks internasional, upaya untuk mewujudkan penghormatan dan perlindungan nilai-nilai HAM tersebut, antara lain terdokumentasi dalam suatu human right law yang secara populer dikenal dengan istilah The International Bill of Human Rights (berisi empat dokumen PBB yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966, International Covenant on Civil and Political 1966 dan Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights 1966).
Perlindungan hak asasi manusia di Indonesia secara lebih jelas dan terinci diatur pada Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup, dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam penekan hak asasi manusia.
Kejahatan hak asasi manusia sebagai pelanggaran HAM yang berkategori berat, adalah extra ordinary crimes (kejahatan kuar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta menimbulkan kerugian baik materiel maupun immateriel yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, kedailan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

2 Denny J.A. “KPP HAM versus Para Jenderal”. Artikel pada Harian Jawa Pos. 14 Februari 2002.
3 Muladi. 1999. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
4 Penegakan Hukum dan Peningkatan Demokrasi di Indonesia. Makalah. Juli 1997. Semarang.

Dalam konteks diatas jenis dan indikator kejahatan HAM yang bersifat berat, meliputi :
1.      Kejahatan Genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
1.      membunuh anggota kelompok;
2.      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
3.      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4.      memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
5.      memidahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2.      Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity), yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
1.      pembunuhan;
2.      pemusnahan;
3.      perbudakan;
4.      pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5.      perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6.      penyiksaan;
7.      perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8.      penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
9.      penghilangan orang secara paksa; atau
10.  kejahatan apartheid (Pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000).
Harus diakui, bahwa istilah “Kejahatan HAM” relatif baru mengemuka sebagai wacana , sekaligus tuntutan publik untuk menyelesaikannya di saat orde reformasi terus bergulir, dengan euphorianya berusaha “menguliti” berbagai macam kejahatan di masa sebelumnya. Diantara kejahatan masa lalu yang dalam beberapa tahun terakhir ini mendapat sorotan tajam ialah jenis kejahatan (kekerasan) struktural yang melibatkan aparat negara, terutama militer, dengan korban penduduk sipil.
Kasus-kasus seperti kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Tanjung Priok, 27 Juli, Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, Semanggi I dan II, dan Triskati, adalah sederetan contoh yang telah melahirkan kesadaran sekaligus desakan dari berbagai kalangan yang peduli terhadap perlunya perlindungan hak-hak asasi manusia melalui piranti hukum dan kinerja institusi penegaknya.




5 M. Kholiq, Abdul. Beberapa Catatan Kritis Peradilan HAM dalam Hukum Positif Indonesia. Jurnal Magister Hukum. Vol.2. Juni 2002.
6 Prasetyo, Eko. 2001. HAM: Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar.
7 Riewanto, Agust. “Pelanggaran HAM dan Asas Retro Aktif”. Suara Merdeka. 16 Februari 2002

Adapun 5 penghambat penegakan hukum dan HAM tahun 2010 yaitu:

1.      Proses legislasi nasional terbukti telah mengagendakan RUU yang mengancam kebebasan dasar manusia seperti RUU Zakat, RUU Rahasia Negara, dan sebagainya.
2.      Kebijakan hukum dan HAM akan semakin jauh dari penghormatan HAM, yang tercermin dari sikap dan kebijakan pemerintah yang mengancam kebebasan fundamental, seperti beragama dan berkeyakinan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers.
3.      Penyelesaian kasus-kasus besar, skandal Bank Century, pembunuhan Munir akan mengalami hambatan serius dan menjauhkan dari keadilan.
4.      Pemberantasan  mafia peradilan hanya akan menyentuh kulit luar dan tebang pilih.
5.      Sulit untuk mewujudkan kesejahteraan, karena tidak ada perspektif lain dalam         pembangunan, kecuali yang didorong oleh pemerintah, sebab parlemen hanya mengamini.
2.3 Upaya Perlindungan HAM
            Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara.Negara-lah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Upaya pelembagaan konsep perlindungan HAM dengan cara meregulasikannya dalam undang-undang agar dapat ditegakkan sewaktu-waktu terjadi pelanggaran terhadapnya, tampaknya bukan persoalan mudah. Terlebih lagi apabila dengan maksud untuk “menyeret” ke meja hijau para pelaku pelanggaran HAM masa lampau sebelum undang-undang HAM berlaku. Hal ini karena adanya beberapa problem yang menyertainya, pertama, secara yuridis upaya tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas. Kedua, sebagian besar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam kerangka melaksanakan kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta demikian tentunya sanagat mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa pengadilan HAM hakikatnya adalah pengadilan terhadap kebijakan pemerintahan negara. Pandangan inilah yang sering menyebabkan pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM mengambil sikap tidak mau dan merasa tidak perlu bertanggung jawab.
Ketiga, konsep HAM sebagai wacana yang relatif masih baru di Indonesia, diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri terutama pada tataran implementasi oleh aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim ad hoc. Keempat, beberapa kelemahan substansial yang terdapat dalam undang-undang Pengadilan HAM, secara politis mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM. Misalnya ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu hanya dapat dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan dengan dasar Keputusan Presiden. Pengalaman empirik membuktikan adanya intervensi kepentingan politik terhadap implementasi UU tentang pengadilan HAM, yakni gagalnya upaya memperadilankan secara ad hoc kasus Tri Sakti dan Semanggi.
Berdasarkan keempat kendala tersebut diatas, dapat kita kaji satu per satu jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut. Pertama untuk penyelesaian kemungkinan terjadinya pelanggaran asas legalitas, maka ada ketentuan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran HAM yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 39/1999). Prinsip tersebut sesuai dengan ciri kejahatan hak asasi manusia yaitu extra ordinary crime/ kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan langkah-langkah penanganan yang luar biasa. Kedua adalah adanya hambatan yang bersifat politis sebagai akibat dari suatu kebijakan penguasa. Hambatan kedua tersebut dapat diatasi dengan pendekatan pola pikir penegakan hukum progresif yaitu menjadikan hukum sebagai panglima dan mengesampingkan faktor-faktor politis. Bahwa setiap pembuat kebijakan dan komando pelaksana, serta operator di lapangan bertanggungjawab secara hukum. Seorang pengambil kebijakan yang tidak berbuat/ melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran HAM padahal dia mempunyai kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dapat dijerat dengan ketentuan hukum tentang HAM.
Kendala ketiga adalah konsep hak asasi manusia sebagai wacana yang relatif baru di Indonesia, sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut tidak seluruhnya benar, namun dalam beberapa kesempatan memang ada beberapa kendala sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep HAM.  Kendala tersebut tidak hanya dialami oleh aparat penegak hukum, namun juga oleh masyarakat secara luas dan aparatur keamanan. Kelemahan pemahaman tentang hak asasi manusia bagi kalangan aparatur negara bagi sipil maupun militer mengakibatkan keragu-raguan dalam melaksanakan kewajiban dan tugas serta tanggungjawabnya. Hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran hak asasi manusia atau takut dicap repreif seperti rezim orde baru. Pemahaman tentang konsep hak asasi manusia bagi seluruh kalangan/ lapisan masyarakat sebenarnya menjadi tugas bersama Komnas HAM dan seluruh warga bangsa melaluicivil education/ pendidikan kewarganegaraan.
Tujuan Komnas HAM sebagaimana amanat konstitusi sebagai lembaga mandiri adalah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.  Untuk mencapainya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan civil education, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya, serta bekerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
Kendala keempat yaitu adanya kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM, dapat diatasi melalui pemahaman konsep HAM dan penegakan hukum di kalangan politisi dan mendorong political will DPR yang mempunyai kewenangan merekomendasikan pelanggaran HAM berat. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk melakukan “sterilisasi” agar keputusan-keputusan DPR dapat benar-benar terjaga “kebersihannya” dari interrest-interrest politik alias tetap fair dan obyektif yuridis.
Konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan juga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/ KKR  apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut setelah melalui penyelidikan secara mendalam oleh Komnas HAM tidak prospektif dan akan mengalami banyak kendala jika diselesaikan melalui jalur pengadilan. Upaya-upaya tersebut diatas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lampau diharapkan dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan perlindungan HAM dapat tercapai dan dapat mencegah terjadinya/ terulangnya pelanggaran serupa dimasa mendatang. Dengan penegakan hukum dan keadilan maka perlindungan hak asasi manusia warga negara Indonesia dapat tercapai sesuai cita-cita negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).





















                8 M Purwadi/Koran SI/ram Rabu (6/1/2009).
9 Asshiddiqie, Jimly. “Penegakan Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia”. Makalah. 30 April 2002. Yogyakarta.
10 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
11 Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun me­lalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian seng­keta lainnya (alternative desputes or conflicts resolu­tion). dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiat­an pe­ne­gakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang di­mak­sudkan agar hukum sebagai perangkat kaedah norma­tif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam se­gala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-be­nar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mesti­nya.
2.      Kejahatan hak asasi manusia sebagai pelanggaran HAM yang berkategori berat, adalah extra ordinary crimes (kejahatan luar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional serta menimbulkan kerugian baik materiel maupun immateriel yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, kedailan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
3.      Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara.Negara-lah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang pada intinya tujuan NKRI adalah : (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

3.2 Saran
Peningkatan pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia kepada seluruh komponen masyarakat perlu lebih ditumbuh kembangkan dan diperdalam, sesuai doktrin hukum yang bersifat universal, yaitu hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat (social reform). Dan karena itu ketidaktahuan atau kekurang pahaman masyarakat akan hukum tentang perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis.






DAFTAR PUSTAKA
Denny J.A. “KPP HAM versus Para Jenderal”. Artikel pada Harian Jawa Pos. 14 Februari 2002.
Muladi. 1999. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Penegakan Hukum dan Peningkatan Demokrasi di Indonesia. Makalah. Juli 1997. Semarang.
M. Kholiq, Abdul. Beberapa Catatan Kritis Peradilan HAM dalam Hukum Positif Indonesia. Jurnal Magister Hukum. Vol.2. Juni 2002.
Prasetyo, Eko. 2001. HAM: Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar.
Riewanto, Agust. “Pelanggaran HAM dan Asas Retro Aktif”. Suara Merdeka. 16 Februari 2002.
8 M Purwadi/Koran SI/ram Rabu (6/1/2009).
Asshiddiqie, Jimly. “Penegakan Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia”. Makalah. 30 April 2002. Yogyakarta.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.





[1] Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Makalah Falsafah Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 65 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.
Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

1.2  Perumusan Masalah
               Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan, maka  penulis mengemukakan bebe-rapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1.       Apakah landasan filosofis Pancasila?
2.     Apakah fungsi utama filsfat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia?
3.     Apakah bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar falsafah negara Indonesia?



1.3  Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.      Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah civic Education.
2.      Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
3.      Untuk mengetahui landasan filosofis Pancasila.
4.      Untuk mengetahui fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia.
5.      Untuk mengetahui bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar falsafah negara Indonesia. 

1.4  Manfaat
               Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1.      Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek filsafat.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui landasan filosofis Pancasila.
3.      Mahasiswa dapat mengetahui fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia.
4.      Mahasiswa dapat mengetahui bukti bahwa falsafah Pancasila dijadikan sebagai dasar falsafah negara Indonesia.
 

Sumbe:
1.      Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
2.      Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta:Pancoran Tujuh.
3.      Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah PancasilaCet. 9.Jakarta: Pantjoran Tujuh.


BAB II
ANALISIS PERMASALAHAN

3.1    Landasan Filosofis Pancasila
3.1.1   Pengertian Filsafat
Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya“philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berakar pada kata“philos”  (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan  pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata  tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.
Pengetahuan bijaksana memberikan kebenaran, orang, yang mencintai pengetahuan bijaksana, karena itu yang mencarinya adalah oreang yang mencintai kebenaran. Tentang mencintai kebenaran adalah karakteristik dari setiap filosof dari dahulu sampai sekarang. Di dalam mencari kebijaksanaan itu, filosof mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya (merenung). Hasil filsafat (berpikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau falsafah. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.



Beberapa tokoh-tokoh filsafat menjelaskan pengertian filsafat adalah sebagai berikut:
       Socrates (469-399 s.M.)
            Filsafat adalah suatu bentuk peninjauan diri yang bersifat reflektif atau berupa perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan yang adil dan bahgia. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikembangkan bahwa manusia akan menemukan kebahagiaan dan keadilan jika mereka mampu  dan mau melakukan peninajauan diri atau refleksi diri sehingga muncul koreksi terhadap diri secara obyektif
       Plato (472 – 347 s. M.)
                 Dalam karya tulisnya “Republik” Plato menegaskan bahwa para filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai  ide yang abadi dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato filsafat merupakan pencarian yang bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan  tentang seluruh kebenaran. Filsafat Plato ini kemudan digolongkan sebagai filsafat spekulatif.     

3.1.2   Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
1.      Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2.      Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri
3.      Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah
4.      Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5.      Jangan mjnum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5 M = Madat/Mabok, Maling/Nyuri, Madon/Awewe, Maen/Judi, Mateni/Bunuh.
Pengertian Pancasila Secara Etimologis
Perkataan Pancasil mula-mula terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu dalam Kitab Tripitaka dimana dalam ajaran buddha tersebut terdapat suatu ajaran moral untuk mencapai nirwana/surga melalui Pancasila yang isinya 5 J [idem].
Pengertian secara Historis
·        Pada tanggal 01 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
·        Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, kemudian keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945 termasuk Pembukaannya dimana didalamnya terdapat rumusan 5 Prinsip sebagai Dasar Negara yang duberi nama Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi walaupun pada Alinea 4 Pembukaan UUD 45 tidak termuat istilah Pancasila namun yang dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah Pancasila hal ini didaarkan interprestasi (penjabaran) historis terutama dalam rangka pembentukan Rumusan Dasar Negara.
Pengertian Pancasila Secara Termitologis
Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara RI untuk melengkapai alat2 Perlengkapan Negara PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 dan berhasil mengesahkan UUD 45 dimana didalam bagian Pembukaan yang terdiri dari 4 Alinea didalamnya tercantum rumusan Pancasila. Rumusan Pancasila tersebut secara Konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara RI yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia Pancasila Berbentuk:
1.      Hirarkis (berjenjang);
2.      Piramid.

A. Pancasila menurut Mr. Moh Yamin adalah yang disampaikan di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 isinya sebagai berikut:
1.      Prikebangsaan;
2.      Prikemanusiaan;
3.      Priketuhanan;
4.      Prikerakyatan;
5.      Kesejahteraan Rakyat
B. Pancasila menurut Ir. Soekarno yang disampaikan pada tangal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, sebagai berikut:
1.      Nasionalisme/Kebangsaan Indonesia;
2.      Internasionalisme/Prikemanusiaan;
3.      Mufakat/Demokrasi;
4.      Kesejahteraan Sosial;
5.      Ketuhanan yang berkebudayaan;
Presiden Soekarno mengusulkan ke-5 Sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila yaitu:
1.      Sosio Nasional : Nasionalisme dan Internasionalisme;
2.      Sosio Demokrasi : Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat;
3.      Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila atau Satusila yang intinya adalah Gotong Royong.
C. Pancasila menurut Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 rumusannya sebagai berikut:
1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan;
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia;
Kesimpulan dari bermacam-macam pengertian pancasila tersebut yang sah dan benar secara Konstitusional adalah pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Uud 45, hal ini diperkuat dengan adanya ketetapan MPRS NO.XXI/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan Rumusan Pancasila Dasar Negara RI yang sah dan benar adalah sebagai mana yang tercantum dalam Pembukaan Uud 1945.

3.1.3   Pengertian Filsafat Pancasila
                   Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.
v     Filsafat Pancasila Asli
                   Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep humanisme, rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme.
v     Filsafat Pancasila versi Soekarno
                   Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Sukarno sejak 1955 sampai berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal dari Indonesia, “Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak pernah menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.
v       Filsafat Pancasila versi Soeharto
                   Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan Moerdiono.
                   Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
                   Kalau dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.
                   Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis, filsafast Pancasila digolongkandalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untukmemenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga dan terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the life, Weltanschaung dan sebgainya); agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
                   Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenran yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat sebgai berikut:
1.      Kebenaran indra (pengetahuan biasa);
2.      Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);
3.      Kebenaran filosofis (filsafat);
4.      Kebenaran religius (religi).
                   Untuk lebih meyakinkan bahwa Pancasila itu adalah ajaran filsafat, sebaiknya kita kutip ceramah Mr.Moh Yamin pada Seminar Pancasila di Yogyakarta tahun 1959 yang berjudul “Tinjauan Pancasila Terhadap Revolusi Fungsional”, yang isinya anatara lain sebagai berikut:
                   Tinjauan Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Marilah kita peringatkan secara ringkas bahwa ajaran Pancasila itu dapat kita tinjau menurut ahli filsafat ulung, yaitu Friedrich Hegel (1770-1831) bapak dari filsafat Evolusi Kebendaan seperti diajarkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan menurut tinjauan Evolusi Kehewanan menurut Darwin Haeckel, serta juga bersangkut paut dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh Immanuel Kant (1724-1804).
                   Menurut Hegel hakikat filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula denga ajaran Pancasila suatu sintese negara yang lahir dari antitese.
                   Saya tidak mau menyulap. Ingatlah kalimat pertama dan Mukadimah UUD Republik Indonesia 1945 yang disadurkan tadi dengan bunyi: Bahwa sesungguhanya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
                   Kalimat pertama ini adalah sintese yaitu antara penjajahan dan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pada saat sintese sudah hilang, maka lahirlah kemerdekaan. Dan kemerdekaan itu kita susun menurut ajaran falsafah Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam Mukadimah Konstitusi R.I. 1950 itu yang berbunyi: Maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu, dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila. Di sini disebut sila yang lima untukmewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian dunia dan kemerdekaan. Kalimat ini jelas kalimat antitese. Sintese kemerdekaan dengan ajaran Pancasila dan tujuan kejayaan bangsa yang bernama kebahagiaan dan kesejajteraan rakyat. Tidakah ini dengan jelas dan nyata suatu sintese pikiran atas dasar antitese pendapat?
                   Jadi sejajar denga tujuan pikiran Hegel beralasanlah pendapat bahwa ajaran Pancasila itu adalah suatu sistem filosofi, sesuai dengan dialektis Neo-Hegelian.
                   Semua sila itu adalah susunan dalam suatu perumahan pikiran filsafat yang harmonis. Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno adalah sesuai pula dengan pemandangan tinjauan hidup Neo-Hegelian. 

3.2    Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa Dan Negara Indonesia
3.2.1   Filasafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
                   Setiapa bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup (filsafata hidup). Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana memecahkan persoalan-persoalan tadi. Tanpa memiliki pandangan hidup maka suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang pasti akan timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri, maupun persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah polotik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.
                   Dalam pergaulan hidup itu terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnyta pandangan hidup sesuatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
                   Kita merasa bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu kita, pendiri-pendiri Republik ini dat memuaskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita yang kemudian kita namakan Pancasila. Seperti yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita.
                   Disamping itu maka bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah beurat/berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Ialah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia ini akan mencapai kebahagiaan jika kita dapat baik dalam hidup manusia sebagai manusia dengan alam dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan kebahagiaan rohaniah.
                   Bangsa Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasil antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa datang yang secara keseluruhan membentuk kepribadian sendiri.
                   Sebab itu bnagsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri yang bersamaan lahirnya bangsa dan negara itu, kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara Pancasila. Karena itulah, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah berjuang, denga melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami dengan oleh gagasan-gagasan besar dunia., dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa kita dan gagasan besar bangsa kita sendiri.
                   Karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam 3 buah UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam pembukaan UUD 1945, dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia 1950. Pancasila itu tetap tercantum didalamnya, Pancasila yang lalu dikukuhkan dalam kehidupan konstitusional itu, Pancasila yang selalu menjadi pegangan bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah sebagai dasar kerohanian negar, dikehendaki oleh bangsa Indonesia karena sebenarnya ia telah tertanam dalam kalbunya rakyat. Oleh karena itu, ia juga merupakan dasasr yang mamapu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.



3.2.2   Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang BPPK telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.
Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber huum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).
Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.
Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.

3.2.3   Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan tiap sila dari Pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila Pancasila itu adalah pencerminan dari bangsa kita.
Demikianlah, maka Pancasila yang kita gali dari bumi Indonsia sendiri merupakan :
a.         Dasar negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita.
b.        Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita serta memberi petunjuk dalam masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.
c.         Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
d.        Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
e.         Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.
Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa kita.
Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.
Akhirnya perlu juga ditegaskan, bahwa apabila dibicarakan mengenai Pancasila, maka yang kita maksud adalah Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.      Persatuan Indonesia.
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawratan / perwakilan.
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang kita gunakan, sebab rumusan yang demikian itulah yang ditetapkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Ketetapan MPR                         No. XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Dikatakan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-sila lainnya. Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang Pancasila.

3.3    Falsafah Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Indonesia
Falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, dapatlah kita temukan dalam beberapa dokumen historis dan di dalam perundang-undangan negara Indonesia seperti di bawah ini :
a.         Dalam Pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
b.        Dalam Naskah Politik yang bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea IV yang kemudian dijadikan naskah rancangan Pembukaan UUD 1945 (terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta).
c.         Dalam naskah Pembukaan UUD Proklamasi 1945, alinea IV.
d.        Dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal         27 Desember 1945, alinea IV.
e.         Dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS RI) tanggal 17 Agustus 1950.
f.          Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV setelah Dekrit Presiden RI tanggal        5 Juli 1959.
Mengenai perumusan dan tata urutan Pancasila yang tercantum dalam dokumen historis dan perundang-undangan negara tersebut di atas adalah agak berlainan tetapi inti dan fundamennya adalah tetap sama sebagai berikut :
1.        Pancasila Sebagai Dasar Falsafat Negara Dalam Pidato Tanggal 1 Juni 1945 Oleh Ir. Soekarno
Ir. Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 untuk pertamakalinya mengusulkan falsafah negara Indonesia dengan perumusan dan tata urutannya sebagai berikut v       Kebangsaan Indonesia.
v       Internasionalisme atau Prikemanusiaan.
v       Mufakat atau Demokrasi.
v       Kesejahteraan sosial.
v       Ketuhanan.
2.        Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Naskah Politik Yang Bersejarah (Piagam Jakarta Tanggal 22 Juni 1945)
Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (BPPK) yang Istilah Jepangnya Dokuritsu Jumbi Cosakai, telah membentuk beberapa panitia kerja yaitu :
a.         Panitia Perumus terdiri atas 9 orang tokoh, pada tanggal 22 Juni 1945, telah berhasil menyusun sebuah naskah politik yang sangat bersejarah dengan nama Piagam Jakarta, selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945, naskah itulah yang ditetapkan sebagai naskah rancangan Pembukaan UUD 1945.
b.        Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno yang kemudian membentuk Panitia Kecil Perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo, Panitia ini berhasil menyusun suatu rancangan UUD-RI.
c.         Panitia Ekonomi dan Keuangan yang diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta.
d.        Panitia Pembelaan Tanah Air, yang diketuai oleh Abikusno Tjokrosujoso.
Untuk pertama kalinya falsafah Pancasila sebagai falsafah negara dicantumkan autentik tertulis di dalam alinea IV dengan perumusan dan tata urutan sebagai berikut :
v        Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
v        Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
v        Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
v        Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3.        Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Pembukaan UUD 1945
Sesudah BPPK (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan) merampungkan tugasnya dengan baik, maka dibubarkan dan pada tanggal       9 Agustus 1945, sebagai penggantinya dibentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Pada tanggal 17 Agustus 1945, dikumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno di Pengangsaan Timur 56 Jakarta yang disaksikan oleh PPKI tersebut.
Keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidangnya yang pertama dengan mengambil keputusan penting :
a.         Mensahkan dan menetapkan Pembukaan UUD 1945.
b.        Mensahkan dan menetapkan UUD 1945.
c.         Memilih dan mengangkat Ketua dan Wakil Ketua PPKI yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Presiden RI dan Wakil Presiden RI.
Tugas pekerjaan Presiden RI untuk sementara waktu dibantu oleh sebuah badan yaitu KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI memutuskan, Pembagian wilayah Indonesia ke dalam 8 propinsi dan setiap propinsi dibagi dalam karesidenan-karesidenan. Juga menetapkan pembentukan Departemen-departemen Pemerintahan.
Dalam Pembukaan UUD Proklamasi 1945 alinea IV yang disahkan oleh PPPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 itulah Pancasila dicantumkan secara resmi, autentik dan sah menurut hukum sebagai dasar falsafah negara RI, dengan perumusan dan tata urutan sebagai berikut :
v       Kemanusiaan yang adil dan beradab.
v       Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan.
v       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4.        Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Mukadimah Konstitusi RIS 1949
Bertempat di Kota Den Haag (Netherland / Belanda) mulai tanggal 23 Agustus sampai dengan tanggal 2 September 1949 diadakan KMB (Konferensi Meja Bundar). Adapun delegasi RI dipimpin oleh                      Drs. Mohammad Hatta, delegasi BFO (Bijeenkomstvoor Federale Overleg) dipimpin oleh Sutan Hamid Alkadrie dan delegasi Belanda dipimpin oleh Van Marseveen.
Sebagai tujuan diadakannya KMB itu ialah untuk menyelesaikan persengketaan antara Indonesia dengan Belanda secepatnya dengan cara yang adil dan pengakuan akan kedaulatan yang penuh, nyata dan tanpa syarat kepada RIS (Republik Indonesia Serikat).
Salah satu hasil keputusan pokok dan penting dari KMB itu, ialah bahwa pihak Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali oleh Kerajaan Belanda dengan waktu selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Demikianlah pada tanggal 27 Desember 1949 di Amsterdam Belanda, Ratu Yuliana menandatangani Piagam Pengakuan Kedaulatan Negara RIS.
Pada waktu yang sama dengan KMB di Kota Den Haag, di Kota Scheveningen (Netherland) disusun pula Konstitusi RIS yang mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Walaupun bentuk negara Indonesia telah berubah dari negara Kesatuan RI menjadi negara serikat RIS dan Konstitusi RIS telah disusun di negeri Belanda jauh dari tanah air kita, namun demikian Pancasila tetap tercantum sebagai dasar falsafah negara di dalam Mukadimah pada alinea IV Konstitusi RIS 1949, dengan perumusan dan tata urutan sebagai berikut :
v       Ketuhanan Yang Maha Esa.
v       Prikemanusiaan.
v       Kebangsaan.
v       Kerakyatan.
v       Keadilan Sosial.
5.        Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Mukadimah UUD Sementara RI (UUDS-RI 1950)
Sejak Proklamasi Kemerdekaannya, bangsa Indonesia menghendaki bentuk negara kesatuan (unitarisme) oleh karena bentuk negara serikat (federalisme) tidaklah sesuai dengan cita-cita kebangsaan dan jiwa proklamasi.
Demikianlah semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tetap membara dan meluap, sebagai hasil gemblengan para pemimpin Indonesia sejak lahirnya Budi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian dikristalisasikan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa.
Oleh karena itu pengakuan kedaulatan negara RIS menimbulkan pergolakan-pergolakan di negara-negara bagian RIS untuk bersatu dalam bentuk negara kesatuan RI sesuai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI.
Sesuai KOnstitusi, negara federal RIS terdiri atas 16 negara bagian. Akibat pergolakan yang semakin gencar menuntut bergabung kembali pada negara kesatuan Indonesia, maka sampai pada tanggal 5 April 1950 negara federasi RIS, tinggal 3 (tiga) negara lagi yaitu :
1.        RI Yogyakarta.
2.        Negara Sumatera Timur (NST).
3.        Negara Indonesia Timur (NIT).
Negara federasi RIS tidak sampai setahun usianya, oleh karena terhitung mulai tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyampaikan Naskah Piagam, pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berarti pembubaran Negara Federal RIS (Republik Indonesia Serikat).
Pada saat itu pula panitia yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo mengubah konstitusi RIS 1949 (196 Pasal) menjadi UUD RIS 1950 (147 Pasal).
Perubahan bentuk negara dan konstitusi RIS tidak mempengaruhi dasar falsafah Pancasila, sehingga tetap tercantum dalam Mukadimah UUDS-RI 1950, alinea IV dengan perumusan dan tata urutan yang sama dalam Mukadimah Konstitusi RIS yaitu :
v       Ketuhanan Yang Maha Esa.
v       Prikemanusiaan.
v       Kebangsaan.
v       Kerakyatan.
v       Keadilan Sosial.

6.        Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Dalam Pembukaan UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante yang akan menyusun UUD baru.
Pada akhir tahun 1955 diadakan pemilihan umum pertama di Indonesia dan Konstituante yang dibentuk mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956.
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan selanjutnya. Konstituante gagal membentuk suatu UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950.
Dengan kegagalan konstituante tersebut, maka pada tanggal 5 Juli 1950 Presiden RI mengeluarkan sebuah Dekrit yang pada pokoknya berisi pernyatan :
a.         Pembubaran Konstuante.
b.        Berlakunya kembali UUD 1945.
c.         Tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
d.        Akan dibentuknya dalam waktu singkat MPRS dan DPAS.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945, secara yuridis, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dengan perumusan dan tata urutan seperti berikut :
v       Ketuhanan Yang Maha Esa.
v       Kemanusiaan yang adil dan beradab.
v       Persatuan Indonesia.
v       Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
v       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 1968, tertanggal 13 April 1968, perihal : Penegasan tata urutan/rumusan Pancasila yang resmi, yang harus digunakan baik dalam penulisan, pembacaan maupun pengucapan sehari-hari. Instruksi ini ditujukan kepada : Semua Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga / Badan Pemerintah lainnya.
Tujuan dari pada Instruksi ini adalah sebagai penegasan dari suatu keadaan yang telah berlaku menurut hukum, oleh karena sesuai dengan asas hukum positif (Ius Contitutum) UUD 1945 adalah konstitusi Indonesia yang berlaku sekarang. Dengan demikian secara yuridis formal perumusan Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang harus digunakan, walaupun sebenarnya tidak ada Instruksi Presiden RI No. 12/1968 tersebut.
Prof. A.G. Pringgodigdo, SH dalam bukunya “Sekitar Pancasila” peri-hal perumusan Pancasila dalam berbagai dokumentasi sejarah mengatakan bahwa uraian-uraian mengenai dasar-dasar negara yang menarik perhatian ialah yang diucapkan oleh :
1.        Mr. Moh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945.
2.        Prof. Mr. Dr. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945.
3.        Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.
Walaupun ketiganya mengusulkan 5 hal pokok untuk sebagai dasar-dasar negara merdeka, tetapi baru Ir. Soekarno yang mengusulkan agar 5 dasar negara itu dinamakan Pancasila dan bukan Panca Darma.
Jelaslah bahwa perumusan 5 dasar pokok itu oleh ketiga tokoh tersebut dalam redaksi kata-katanya berbeda tetapi inti pokok-pokoknya adalah sama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan atau internasionalisme, Kebangsaan Indonesia atau persatuan Indonesia, Kerakyatan atau Demokrasi dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ir. Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 menegaskan : Maksud Pancasila adalah philosophschegrondslag itulah fundament falsafah, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung “Indonesia Merdeka Yang Kekal dan Abadi”.
Prof. Mr. Drs. Notonagoro dalam pidato Dies Natalis Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 10 November 1955 menegaskan : “Susunan Pancasila itu adalah suatu kebulatan yang bersifat hierrarchies dan piramidal yang mengakibatkan adanya hubungan organis di antara 5 sila negara kita”.
Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya “Proklamasi dan Konstitusi” (1951) berpendapat : “Pancasila itu sebagai benda rohani yang tetap dan tidak berubah sejak Piagam Jakarta sampai pada hari ini”.
Kemudian pernyataan dan pendapat Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Prof. Mr. Muhamamd Yamin tersebut diterima dan dikukuhkan oleh MPRS dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1960 jo Ketetapan No. V/MPR/1973.












BAB III
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
2.      Fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia yaitu:
a)      Filasafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
b)      Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
c)      Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia
3.      Falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, hal tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya dalam beberapa dokumen historis dan di dalam perundang-undangan negara Indonesia seperti di bawah ini :
a.     Dalam Pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
b.    Dalam Naskah Politik yang bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea IV yang kemudian dijadikan naskah rancangan Pembukaan UUD 1945 (terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta).
c.     Dalam naskah Pembukaan UUD Proklamasi 1945, alinea IV.
d.    Dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal        27 Desember 1945, alinea IV.
e.     Dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS RI) tanggal 17 Agustus 1950.
f.     Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV setelah Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959.

4.2  Saran
Warganegara Indonesia merupakan sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia Oleh karena itu sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau mempercayai, menghormati, menghargai menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman bahwa falsafah Pancasila adalah sebagai dasar falsafah negara Indonesia. Sehingga kekacauan yang sekarang terjadi ini dapat diatasi dan lebih memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia ini.

















DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta:Pancoran Tujuh.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah PancasilaCet. 9.Jakarta:  Pantjoran Tujuh.

Sumber Lain :














Studi Kelayakan Bisnis untuk Permulaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1   Latar Belakang Terdapat sejumlah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan menggunakan gambar kuda dalam  lamba...