Agama Islam memiliki aturan–aturan sebagai tuntunan
hidup kita baik dalam berhubungan sosial dengan manusia (hablu minannas)
dan hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu minawallah) dan
tuntunan itu kita kenal dengan hukum islam atau syariat islam atau hukum Allah
SWT. Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai sumber-sumber syariat islam,
terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari hukum dan hukum islam atau
syariat islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas sesuatu atau
meniadakannya. Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntunan Allah SWT
(Alquran dan hadist) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang
yang sudah balig dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau
menjadikan sesuatu sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah( kemudahan )
atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat
yang ditimbulkan oleh syariat (Alquran dan hadist) berupa al-wujub,
al-almandub, al-hurmah, al- karahah, dan al-ibahah. Perbuatan
yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Ulama usul fikih membagi hukum islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy
dan hukum wadh’iy dan penjelasannya sebagai berikut :
- Hukum
Taklifiy
Adalah tuntunan Allah
yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Hukum taklifiy dibagi menjadi lima macam, yaitu
a.
Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan
dilarang ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman
b.
An-nadh, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya
mendapatkan pahala, tetapi jika tidak dikerjakan tidak hukuman (dosa)
c.
Al-ibahah, yaitu firman Allah yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu
perbuatan atau meninggalkannya
d.
Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan
itu diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti sehingga kalau dikerjakan
pelakunya tidak dikenai hukuman
e.
Al-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan perbuatan itu wajib,
dan jika dikerjakan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa).
Menurut ulama fikih
pebuatan mukallaf itu jika ditinjau dari syariat islam dibagi menjadi
lima macam, yaitu :
a.
Fardu (wajib), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan
pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan hukuman (berdosa)
perbuatan
wajib ditinjau dari segi orang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
Fardu
ain, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf, seperti
shalat lima waktu
Fardu
kifayah, yaitu perbuatan wajib yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota
masyarakat, dan jika telah dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat,
maka gugur kewajiban anggota masyarakat lainnya, seperti memandikan, mengafani,
menshalatkan, dan menguburkan jenazah muslim
b.
sunnah (mandub), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan
pahala, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya tidak mendapatkan hukuman (dosa)
perbuatan
sunnah dibagi menjadi dua, yaitu:
Sunnah
ain, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap
individu, seperti shalat sunnah rawatib
Sunnah
kifayah, yaitu perbuatan sunnah yang dianjurkan dikerjakan oleh salah seorang
atau beberapa orang dari golongan masyarakat, seperti memberi salam, mendoakan
muslim atau muslimat
c.
Haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya berdosa dan akan
dihukum, tetapi apabila ditinggalkan pelakunya mendapatkan pahala, seperti:
bezina, mencuri, membunuh
d.
Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak berdosa, tetapi
apabila ditinggalkan pelakunya mendapat pahala, seperti: meninggalkan shalat
Dhuha
e.
Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti:
memilih warna pakaian penutup auratnya.
- Hukum
Wa’iy
Adalah perintah Allah
SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab,
syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum).
Melalui penjelasan singkat mengenai pengertian hukum
islam atau syariat islam tadi barulah kita mengerti pengertian hukum islam. Yang
dimaksud sebagai sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila
dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).
Dengan demikian sumber hukum islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar,
acuan, atau pedoman syariat islam. Pada umumnya para ulama fikih sependapat
bahwa sumber utama hukum islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya
Rasulullah SAW bersabda, “ Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang
karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku.” Dan disamping itu pula para
ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah
Alquran dan hadist.
Seluruh hukum produk manusia adalah bersifat
subjektif, hal ini karena keterbatasan manusia dalam ilmu pengetahuan yang
diberikan Allah SWT mengenai kehidupan dunia dan kecenderungan untuk
menyimpang, serta menguntungkan penguasa pada saat pembuatan hukum tersebut,
sedangkan hukum Allah SWT adalah peraturan yang lengkap dan sempurna serta
sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran islam
dirumuskan dengan jelas oleh Rasulullah SAW, yakni terdiri dari tiga sumber,
yaitu kitabullah (Alquran), as- sunnah (hadist), dan ra’yu atau akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Ketiga sumber ajaran ini
merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak boleh dibalik.
Sumber-sumber ajaran islam ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sumber
ajaran islam yang primer (Alquran dan hadist) dan sumber ajaran islam sekunder
(ijtihad). Pembahasan mengenai karakteristik masing-masing sumber ajaran islam
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sumber-Sumber Ajaran Islam Primer
1.1. Alqur’an
Secara
etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan
yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Naas. Dan menurut para ulama klasik, Alquran adalah Kalamulllah yang
diturunkan pada rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan
diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah
Pokok-pokok
kandungan dalam Alquran antara lain:
Tauhid,
yaitu kepercayaan ke-esaann Allah SWT dan semua kepercayaan yang berhubungan
dengan-Nya
Ibadah,
yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid
Janji
dan ancaman, yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau mengamalkan isi
Alquran dan ancaman siksa bagi orang yang mengingkari
Kisah
umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiaran syariat Allah SWT
maupun kisah orang-orang saleh ataupun kisah orang yang mengingkari kebenaran
Alquran agar dapat dijadikan pembelajaran.
Al-Quran
mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang
mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan
dengan akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah
hubungan manusia dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta
manusia dengan lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun
Islam dan disebut hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
Hukum
Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia dalam
kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini
tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yakni:
Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT, misalnya salat, puasa, zakat, dan haji
Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan
sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum
muamalat adalah sebagai berikut:
Hukum
munakahat (pernikahan).
Hukum
faraid (waris).
Hukum
jinayat (pidana).
Hukum
hudud (hukuman).
Hukum jual-beli dan perjanjian.
Hukum tata Negara/kepemerintahan
Hukum
makanan dan penyembelihan.
Hukum
aqdiyah (pengadilan).
Hukum
jihad (peperangan).
Hukum
dauliyah (antarbangsa).
1.2. Hadist
Sunnah menurut syar’i
adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan,
dan penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Alquran
yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Alquran.
Sunnah
dibagi menjadi empat macam, yaitu:
Sunnah
qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah
Sunnah
fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah
Sunnah
taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan
ataupun perbuatan orang lain
Sunnah
hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai
dikerjakan
2. Sumber-Sumber Ajaran Islam Sekunder
2.1. Ijtihad
Ijtihad
berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga dan pikiran
atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan ijtihad sendiri berarti mencurahkan
segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil
syara, yaitu Alquran dan hadist. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum
ketiga setelah Alquran dan hadist. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu
masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat
dilakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada
Alquran dan hadist.
Macam-macam
ijtidah yang dikenal dalam syariat islam, yaitu
Ijma’, yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau
sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad
umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum
suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu
dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula
sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang
mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama. Contohnya adalah pada
surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada
orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi
sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas
kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang
dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan
hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut
aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat
terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
Mushalat Murshalah, yaitu menurut bahasa berarti
kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu
dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist
tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi
kemaslahatan umat.
Sududz Dzariah, yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut
istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram
demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras
walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti
ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk
bahkan menjadi kebiasaan.
Istishab,
yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa
lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang
yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia
harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus
berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
Urf, yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus
(adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual
beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah
diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama
antara penjual dan pembeli.
Referensi :
1.
”Ijtihad,” www.wikipedia.com. 26 September
2008
2.
http\\www.hikmatun.wordpress.com\pengertian al-qur’an
3.
Alquran dan Terjemahannya, 1971: Saudi Arabia
4.
M.Quraish Shihab, Membumikan Alquran
5.
Syuhudi Ismail, Ilmu Hadist
SEJARAH
ISLAM DI INDONESIA
Sumber Ajaran
Agama Islam
Sebelum membahas pengertian sumber hukum Islam, terlebih dahulu kita harus
mengetahui pengertian hukum Islam. Hukum artinya menetapkan sesuatu atas
sesuatu atau meniadakannya. Hukum Islam disebut juga syariat atau hukum Allah
SWT, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah SWT sebagaimana
terkandung dalam kitab suci Alquran dan hadis (sunah). Syariat Islam juga
merupakan hukum dan aturan Islam yang mengatur
seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun bukan muslim.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Alquran dan
hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig
dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu
sebagai syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan
oleh syariat (Alquran dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah,
al-karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib,
sunah (mandub), haram, makruh, dan mubah.
Ulama usul fikih membagi hukum Islam menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifiy
dan hukum wadh’iy, sebagai berikut :
A. Hukum
Taklify
Adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk melakukan suatu
perbuatan atau meninggalkannya. Hukum taklify tersebut dibagi
menjadi lima macam, yaitu:
·
Al-ijab, yaitu tuntutan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan dan tidak
boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai
hukuman.
·
An-nadb, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu tidak secara pasti. Jika tuntutan itu dikerjakan maka pelakunya
akan mendapat pahala (kebaikan), tetapi jika ditinggalkan tidak akan mendapat
hukuman (tidak berdosa).
·
Al-ibahah yaitu firman Allah (Alquran dan hadis) yang mengandung pilihan untuk
melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
·
Al-karahah, yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui untaian kata yang tidak pasti. Hal itu menjadikan tuntutan
tersebut sebagai al-karahah, yakni anjuran untuk meninggalkan suatu
perbuatan, tetapi kalau perbuatan itu dikerjakan juga, maka pelakunya tidak
dikenai hukuman.
·
At-tahrim, yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan
yang pasti sehingga tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan itu wajib
dipenuhi. Jika perbuatan itu dikerjakan maka pelakunya akan mendapat hukuman
(dianggap berdosa).
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum
yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat
(hukum Islam) dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a. Fardu (wajib),
yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi
apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (dianggap berdosa). Perbuatan wajib
ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf,
seperti salat lima waktu.
2. Fardu kifayyah: perbuatan yang harus
dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota
masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang
hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota
masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa. Contohnya:
memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim,
membangun mesjid dan rumah sakit.
b. Sunnah (mandub),
yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala,
tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
1.Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap
individu. Misalnya: salat sunnah rawatib.
2.Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh
salah seorang (beberapa orang) dari golongan masyarakat. Misalnya: mendoakan
muslim/muslimah dan memberi salam.
c. Haram, yaitu
perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat
siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala.
Misalnya: berzina, mencuri, membunuh.
d. Makruh, yaitu
perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi
apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Misalnya:
meninggalkan salat Dhuha.
e. Mubah, yaitu
perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Misalnya:
usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian
penutup auratnya.
B. Hukum
Wad’iy
Adalah perintah Allah SWT, yang mengandung pengertian, bahwa terjadinya
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu (hukum). Ulama usul fikih berpendapat bahwa hukum wad’iy itu terdiri dari 3 macam:
1.
Sebab, yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nas
(Alquran dan hadis), bahwa keberadaannya menjadi sebab tidak adanya hukum.
Misalnya: tergelincirnya matahri menjadi sebab wajibnya Salat Zuhur,
terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya Salat Magrib. Dengan demikian, jika
matahari belum tergelincir maka Salat Zuhur belum wajib dilakukan.
2.
Syarat, yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syarak, tetapi keberadaan hukum
syarak tergantung kepadanya. Jika syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada.
Misalnya: genap satu tahun (haul), adalah syarat wajibnya harta perniagaan.
Jika tidak ada haul, tidak ada kewajiban zakat harta perniagaan tersebut.
3.
Mani
(penghalang), yaitu sesuatu yang keberadaannya
menyebabkan tidak adanya hukum atau tidak adanya sebab bagi hukum. Misalnya:
najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salat
menyebabkan salatnya tidak sah (menghalangi sahnya salat).
Setelah kita mengetahui pengertian hukum atau syariat Islam,
barulah kita mengetahui pengertian sumber hukum Islam. Yang dimaksud sumber
hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan
sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1). Dengan demikian, sumber hukum
Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat
Islam.
Pada umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber
utama hukum Islam adalah Alquran dan Hadis. Dalam sabdanya Nabi SAW menyatakan,
“Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan
tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah
(Alquran) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Al Baihaki). Di samping itu
pula, para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum Islam,
setelah Alquran dan hadis.
Seluruh hukum produk manusia adalah subyektif. Hal ini dikarenakan minimnya
ilmu yang diberikan Allah Swt. tentang kehidupan dunia dan kecenderungan untuk
menyimpang. Sedangkan hukum Allah Swt. adalah peraturan yang lengkap dan
sempurna serta sejalan dengan fitrah manusia.
Sumber ajaran Islam dirumuskan dengan jelas dalam percakapan Nabi Muhammad
dengan sahabat beliau Mu’az bin Jabal, yakni terdiri dari tiga sumber yaitu
al-Qur’an (kitabullah), as-Sunnah (kini dihimpun dalam hadis), dan ra’yu atau
akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Ketiga sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan
yang tidak boleh dibalik.
1.
AL QUR’AN
Secara
etimologis, al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau
qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu).
Huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur
dikatakan al-Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan
intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :
“ Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”.
(al Qiyamah [75]:17-18).
Sedangkan menurut para ulama klasik, al-Qur’an didefinisikan sebagai
berikut:
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa
Arab, merupakan mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya
adalah ibadah.
Adapun
pokok-pokok kandungan dalam al-Qur’an antara lain:
- Tauhid, yaitu kepercayaan terhadap ke-Esaan Allah dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya.
- Ibadah, yaitu semua bentuk perbuatan sebagai manifestasi dari kepercayaan
ajaran tauhid.
- Janji dan ancaman (al wa’d
wal wa’iid), yaitu janji pahala bagi
orang yang percaya dan mau mengamalkan isi al-Qur’an dan ancaman siksa
bagi orang yang mengingkarinya.
- Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun
kisah orang-orang shaleh ataupun orang yang mengingkari kebenaran
al-Qur’an agar dapat dijadikan pembelajaran bagi umat setelahnya.
Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:
·
Hukum
I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur
hubungan rohaniah manusia dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan
akidah/keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
·
Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah
SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan
sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum
syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
·
Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan
perilaku normal manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau
makhluk sosial. Hukum ini tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf.
Sedangakan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:
·
Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, misalnya
salat, puasa, zakat, haji, dank urban.
·
Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam
sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
·
Hukum munakahat (pernikahan).
·
Hukum faraid (waris).
·
Hukum jinayat (pidana).
·
Hukum hudud (hukuman).
·
Hukum jual-beli
dan perjanjian.
·
Hukum
al-khilafah (tata Negara/kepemerintahan).
·
Hukum makanan dan penyembelihan.
·
Hukum aqdiyah (pengadilan).
·
Hukum jihad (peperangan).
·
Hukum dauliyah (antarbangsa).
- AS-SUNNAH ATAU HADIS
Sunnah menurut istilah syar’i adalah
sesuatu yang berasal dari Rasulullah Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan
penetapan pengakuan. Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang
kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam
al-Qur’an.
As-Sunnah
dibagi menjadi empat macam, yakni:
- Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan
Rasulullah
- Sunnah Fi’liyah, yaitu
semua perbuatan Rasulullah
- Sunnah Taqririyah, yaitu
penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang
lain
- Sunnah Hammiyah, yakni
sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tapi tidak sampai
dikerjakan.
Ada beberapa ahli hadis yang mengatakan bahwa istilah hadis dipergunakan
khusus untuk sunnah qauliyah (perkataan Nabi), sedangkan sunnah fi’liyah
(perbuatan) dan sunnah taqririyah tidak disebut hadis, tetapi sunnah
saja.
- SUMBER PELENGKAP AR-RA’YU
Secara garis besar ayat-ayat
al-Qur’an dibedakan atas ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya dan
hukum yang dikandungnya tidak memerlukan penafsiran. Pada umumnya bersifat
perintah, seperti penegakkan shalat, puasa, zakat dan haji.
Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang memerlukan
penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti,
seperti ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari. Adanya ayat
mutasyabihat mengisyaratkan manusia untuk mempergunakan akalnya dengan benar
serta berpikir mengenai ketetapan hukum peristiwa tertentu yang tidak
disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah.
Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang berarti mencurahkan tenaga
dan pikiran atau bekerja semaksimal mungkin. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti
mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari
dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum
dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber
hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Walaupun Islam adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT, Islam
sangat menghargai akal. Hal ini terbukti dengan banyaknya ayat Al Quran yang
memerintahkan manusia untuk menggunakan akal pikirannya, seperti pada surat An
Nahl ayat 67 “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkannya”. Oleh karena itu, apabila
ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di Al Quran maupun Hadist, maka
diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap
mengacu kepada Al Quran dan Hadist.
Adapun macam-macam bentuk ijtihad yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu:
1.
Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW
sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
musyawarah. Hasil dari Ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama
dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.
Qiyas yang berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan
kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan
suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab
akibat yang sama. Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa
perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena
dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama
menyakiti hati orang tua.
3.
Istihsan yang berarti suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas
lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima
untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu
perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak,
kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad.
Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau
keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal,
sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.
Mushalat
Murshalah, menurut bahasa berarti
kesejahteraan umum. Adapum menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu
dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist
tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
5.
Sududz Dzariah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan
menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman
keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan
seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak
hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
6.
Istishab yang berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum
tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan
sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah
bila tidak berwudhu.
7.
Urf. berupa
perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang
sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab
kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.
Ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam dan
merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist. Dengan
ijtihad itu umat Islam menyelesaikan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak
ada dalam Al Quran maupun Hadist. Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi
sosok yang dapat ditanya secara langsung tentang masalah-masalah Islam. Oleh
karena itu, ijtihad dijadikan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah tersebut
dengan tetap mengacu pada Al Quran dan Hadist.
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang
sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA
mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama
berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan
Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di
pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan
Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi
abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam
meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan
Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah
kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo
menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu
Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun
746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun
peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di
Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya
adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya
tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari.
Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para
pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada
pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad
ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada
abad tersebut isebabkan saat itu kaum Muslimin sudah
memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah
campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh
surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara
seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of
Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti
halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan
damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk
ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan
terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini,
perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat.
Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar
diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut,
migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya
menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam
seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain
karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan,
juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap
kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di
Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan
tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka
terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad
ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus
mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk
kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat
Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu
daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan
pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur
pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis
menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah
pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah
pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu
menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini
dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan
Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten,
Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari
serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah
membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain
membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren
(madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah
sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih
terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah
orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang
berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering
bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini
berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak
perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia),
Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang
Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
(Bersambung)
akan
memberitahukan kepada anda sejarah masuknya Islam digowa...
konon katanya...
Berbagai peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Selatan (Sulsel)
sampai sekarang ini masih banyak yang belum terungkap, termasuk keberadaan
masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih
membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif.
Kehadiran budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya
agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawah oleh para
pedagang Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan
Gowa, Somba Opu.
Di Mangallekana
Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I
Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang
memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di
sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan
masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri
di Sulsel.
Menurut perkiraan, penduduk Makassar pada abad ke-16 sudah memeluk Islam.
Mereka sudah ada di masyarakat dan berbaur dengan masyarakat Gowa atau
berinteraksi sosial antar individu dan berintreraksi jual-beli atau hubungan
dagang. Itu berlansung lama.
Suasana seperti itu berlangsung lama di dalam wilayah Kerajaan Gowa dan
di luar pusat Kerajaan Gowa utamanya dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di
Ternate, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang jauh lebih dahulu memeluk Islam.
Raja Gowa
Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di
Kerajaan Tallo dan Gowa disusul dengan masuknya Islam Raja Tallo I Sultan
Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan
Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.
Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari
langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut
catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam
adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun
kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil
diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan
rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan.
Berbeda dengan sahabatnya, khatib yang bungsu bernama Abdul Jawad yang
menyebarkan Islam di wilayah bahagian selatan Sulsel utamanya di Bulukumba yang
menekankan pelajaran Tasawwuf kepada rakyat sesuai dengan keinginan masyarakat
yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan. Khatib Abdul Jawad inilah
yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba,
sehingga digelar sebagai Datok Ri Tiro.
Kerajaan Luwu
Khatib Sulaiman yang menyebarkan Islam di Tanah Luwu berhasil
mengislamkan Datu Luwu La Patiware Dg Parrebung, kemudian diberi gelar Sultan
Muhammad. Khatib Sulaeman menyebarkan agama lebih menenkankan pada pengetahuan
tauhid, yang diajarkan kepada masyarakat yang berkaitan pada kepercayaan Dewa
Seuwae.
Sebagai ganti Dewa Seuwae masyarakat diajarkan untuk mempercayai adanya
Allah SWT. Khatib Suleman meninggal di Luwu Utara dan dimakamkan di Desa
Patimang sehingga juga disebut Dato Patimang.
Suasana masyarakat Sulsel pada sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad
ke-17 sibuk mempelajari agama baru, Islam. Kala itu Islam disebarkan dan
diajarkan oleh ketiga ulama dari Minangkabau, Dato Ri Bandang, Datok Ri Tiro,
dan Dato Patimang. Ketiga penyiar Islam ini berkerja sama dengan bangsawan dan
kerabat kerajaan di istana raja. Para bangsawan dan kerabat kerajaan berusaha
secara berangsur-angsur mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam melalui
pengajian, pengkajian Al Quran, salat berjamaah, dan diskusi-diskusi.
Melalui Pedagang
Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang
membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan
Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di
wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke
kepulauan nusantara terutama di Maluku.
Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia
memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di
Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir
abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di
kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid
Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu
Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar
Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang.
Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal
di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam
diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah
ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu
maupun berkelompok.
Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau.
Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa,
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu.
Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan
kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590)
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar
Istana Kerajaan Gowa.
Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.
konon katanya...
Berbagai peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Selatan (Sulsel)
sampai sekarang ini masih banyak yang belum terungkap, termasuk keberadaan
masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih
membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif.
Kehadiran budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya
agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawah oleh para
pedagang Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan
Gowa, Somba Opu.
Di Mangallekana
Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I
Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang
memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di
sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan
masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri
di Sulsel.
Menurut perkiraan, penduduk Makassar pada abad ke-16 sudah memeluk Islam.
Mereka sudah ada di masyarakat dan berbaur dengan masyarakat Gowa atau
berinteraksi sosial antar individu dan berintreraksi jual-beli atau hubungan
dagang. Itu berlansung lama.
Suasana seperti itu berlangsung lama di dalam wilayah Kerajaan Gowa dan
di luar pusat Kerajaan Gowa utamanya dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di
Ternate, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang jauh lebih dahulu memeluk Islam.
Raja Gowa
Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di
Kerajaan Tallo dan Gowa disusul dengan masuknya Islam Raja Tallo I Sultan
Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan
Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.
Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari
langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut
catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam
adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun
kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil
diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan
rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan.
Berbeda dengan sahabatnya, khatib yang bungsu bernama Abdul Jawad yang
menyebarkan Islam di wilayah bahagian selatan Sulsel utamanya di Bulukumba yang
menekankan pelajaran Tasawwuf kepada rakyat sesuai dengan keinginan masyarakat
yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan. Khatib Abdul Jawad inilah
yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba,
sehingga digelar sebagai Datok Ri Tiro.
Kerajaan Luwu
Khatib Sulaiman yang menyebarkan Islam di Tanah Luwu berhasil
mengislamkan Datu Luwu La Patiware Dg Parrebung, kemudian diberi gelar Sultan
Muhammad. Khatib Sulaeman menyebarkan agama lebih menenkankan pada pengetahuan
tauhid, yang diajarkan kepada masyarakat yang berkaitan pada kepercayaan Dewa
Seuwae.
Sebagai ganti Dewa Seuwae masyarakat diajarkan untuk mempercayai adanya
Allah SWT. Khatib Suleman meninggal di Luwu Utara dan dimakamkan di Desa
Patimang sehingga juga disebut Dato Patimang.
Suasana masyarakat Sulsel pada sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad
ke-17 sibuk mempelajari agama baru, Islam. Kala itu Islam disebarkan dan
diajarkan oleh ketiga ulama dari Minangkabau, Dato Ri Bandang, Datok Ri Tiro,
dan Dato Patimang. Ketiga penyiar Islam ini berkerja sama dengan bangsawan dan
kerabat kerajaan di istana raja. Para bangsawan dan kerabat kerajaan berusaha
secara berangsur-angsur mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam melalui
pengajian, pengkajian Al Quran, salat berjamaah, dan diskusi-diskusi.
Melalui Pedagang
Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di
Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang
mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun
dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama
Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar
India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu
dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis pada
tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak
kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di
Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan
pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di
pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga
disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang
membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan
Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di
wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan
orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang
Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang
di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke
kepulauan nusantara terutama di Maluku.
Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia
memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di
Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir
abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di
kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid
Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu
Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar
Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang.
Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal
di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam
diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah
ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu
maupun berkelompok.
Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang
dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang
memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau.
Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu
Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa,
Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu.
Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan
kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di
jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590)
bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa
memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar
Istana Kerajaan Gowa.
Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang
ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.
Konsep
Manusia Dalam Al-Qur’an Adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang
manusia pertama yaitu Bapak Adam dan Ibu Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini
pada awalnya hidup di surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka
diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian
beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat
berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban
manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia.
Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia
dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah dibumi ini.
Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh
para malaikat. Dan Allah berfirman: “....Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama mereka...” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama
itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu
menjaga dunia. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk
paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang
diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT:
“.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada
Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah
ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang
lainnya, bahkan Malaikat sekalipun. Menjadi menarik dari sini jika legitimasi
kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia
pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan
orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka
terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu,
kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada
umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah
dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini
jauh di bawah standar malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah
Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia.
Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas,
yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah. Tiga hal
inilah yang menjadi inti pembahasan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa
manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal
Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau
Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang
rendah.............” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa
sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik,
tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini
memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun
karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah
kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. Satu hal yang
tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu,
manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan
tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak
akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.......” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak
akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka.
Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu karena
kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian
manusia, melalui surat al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk
tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan
Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia.
Namun, lagi-lagi manusi cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya.
Unsur-unsur dalam diri manusia Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap
jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa
di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam
Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari
unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman
Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani).Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke
dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat
7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur
paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral,
tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi
inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial. Jika
unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur
fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan
implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang
dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun
sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan
jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan
oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan
mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut
sebagai al-insaniyyah. Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya
dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat,
hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia
unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam
semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya. Penutup Manusia
adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih mendayagunakan
potensialitasnya atau mengabaikannya.