ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
CITA NEGARA HUKUM DAN SISTEM HUKUM
NASIONAL
Indonesia
diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu
Negara Hukum (Rechtsstaat/ The Rule of Law). UUD 1945 Pasal 1 ayat (3)
menegaskan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”.[1] Namun, bagaimana cetak biru dan
desain makro penjabaran ide negara hukum itu, selama ini belum pernah
dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang
bersifat sektoral. Oleh karena itu, hukum hendaknya dapat dipahami dan
dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Apalagi, negara hendak dipahami
sebagai suatu konsep hukum, yaitu sebagai Negara Hukum.
Dalam
hukum sebagai suatu kesatuan sistem terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen
institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan
(3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang
ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga
elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making),
(b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan
(c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating).
Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakan
hukum dalam arti yang sempit (law enforcement) yang di bidang pidana
melibatkan peran kepolisian, kejaksaan, advokat, dan kehakiman atau di bidang
perdata melibatkan peran advokat (pengacara) dan kehakiman. Selain itu, ada
pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu: (d) pemasyarakatan dan
pendidikan hukum (law socialization and law education) dalam arti
seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hukum (law
information management) sebagai kegiatan penunjang. Kelima kegiatan itu
biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan negara, yaitu (i)
fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administratif, serta
(iii) fungsi yudikatif atau judisial[2]. Organ legislatif adalah lembaga
parlemen, organ eksekutif adalah birokrasi pemerintahan, sedangkan organ
judikatif adalah birokrasi aparatur penegakan hukum yang mencakup kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan
hirarkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang
terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur
tingkat kabupaten/kota.
Dalam
keseluruhan elemen, komponen, hirarki dan aspek-aspek yang bersifat sistemik
dan saling berkaitan satu sama lain itulah,[3] tercakup pengertian sistem hukum
yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD
1945. Jika dinamika yang berkenaan dengan keseluruhan aspek, elemen, hirarki
dan komponen tersebut tidak bekerja secara seimbang dan sinergis, maka hukum
sebagai satu kesatuan sistem juga tidak dapat diharapkan tegak sebagaimana
mestinya. Sebagai contoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental
(civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada
kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan
perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law
enforcing). Bahkan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan
doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori
fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka
pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan
hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi
pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu persamaan di
hadapan hukum (equality before the law). Orang kaya di Jakarta harus
diperlakukan sama oleh hukum dengan orang miskin di daerah terpencil di
Mentawai (Sumbar), di Lembah Baliem (Papua), suku Kubu di perbatasan
Jambi-Sumatera Selatan, ataupun suku terpencil di pulau-pulau kecil di seluruh
wilayah Nusantara.
Teori fiktie
di atas memang fiktie sifatnya atau hayalan saja, karena tidak
mencerminkan realitas yang sebenarnya. Untuk lingkungan negara-negara maju dan
apalagi kecil seperti Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengetahuan
masyarakatnya yang merata, tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu.
Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hukum yang tersedia dalam
masyarakat bersifat simetris. Tetapi di negara yang demikian besar wilayahnya,
begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula
kondisi kesejahteraan dan pendidikannya seperti Indonesia, sudah tentu sistem
informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat simetris.
Tidaklah adil untuk memaksakan berlaku sesuatu norma hukum kepada mereka yang
sama sekali tidak mengerti, tidak terlibat, dan tidak terjangkau pengetahuannya
tentang norma aturan yang diberlakukan itu kepadanya. Jika dalam norma aturan
itu terjadi proses kriminalisasi, sudah tentu orang yang bersangkutan terancam
menjadi kriminal tanpa ia sendiri menyadarinya. Oleh karena itu, di samping
adanya dan di antara kegiatan pembuatan hukum (law making) dan penegakan
hukum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasyarakatan hukum
(law socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting
selama ini. Padahal, inilah kunci tegaknya hukum. Tanpa basis sosial yang menyadari
hak dan kewajibannya secara hukum, maka hukum apapun yang dibuat tidak akan
efektif, tidak akan tegak, dan tidak akan ditaati dengan sungguh-sungguh.
Oleh
karena itu, memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang
terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum
ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat
atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi
membuat hukum saja, ataupun hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek
saja dari keseluruhan sistem hukum tersebut di atas. Itulah sebabnya, saya
sering mengemukakan penting kita sebagai bangsa menyusun dan merumuskan
mengenai apa yang kita maksud dengan konsepsi Negara Hukum Indonesia yang
diamanatkan dalam UUD 1945, terutama sekarang telah ditegaskan dalam rumusan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Semua lembaga atau institusi hukum yang
ada hendaklah dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum yang perlu
dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum itu. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu
menyusun suatu blue-print, suatu desain makro tentang Negara Hukum dan
Sistem Hukum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
PENEGAKAN HUKUM
Penegakan
Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum,
baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan
mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts
resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan
hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai
perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan
sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan
hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya –yang lebih sempit lagi—
melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan,
advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.
Karena
itu, dalam arti sempit, aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol
dalam proses penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim.
Para penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama
sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur
kerjanya masing-masing. Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum
tergantung aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, penegak hukum dapat pula
dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya
sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata
kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan secara
rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua perspektif
tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat pula keterkaitannya
satu sama lain serta keterkaitannya dengan berbagai faktor dan elemen yang
terkait dengan hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang rasional.
Profesi
hukum perlu ditata kembali dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya. Para profesional hukum itu antara lain meliputi (i)
legislator (politisi)[4], (ii) perancang hukum (legal drafter),
(iii) advokat, (iv) notaris, (v) pejabat pembuat akta tanah, (vi) polisi, (vii)
jaksa, (viii) panitera, (ix) hakim, dan (x) arbiter atau wasit. Untuk
meningkatkan kualitas profesionalisme masing-masing profesi tersebut,
diperlukan sistem sertifikasi nasional dan standarisasi, termasuk berkenaan
dengan sistem kesejahteraannya. Di samping itu juga diperlukan program pendidikan
dan pelatihan terpadu yang dapat terus menerus membina sikap mental,
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional aparat hukum tersebut.
Agenda
pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum ini perlu
dipisahkan dari program pembinaan pegawai administrasi di lingkungan
lembaga-lembaga hukum tersebut, seperti di pengadilan ataupun di lembaga
perwakilan rakyat. Dengan demikian, orientasi peningkatan mutu aparat hukum ini
dapat benar-benar dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan. Di
samping itu, pembinaan kualitas profesional aparat hukum ini dapat pula dilakukan
melalui peningkatan keberdayaan organisasi profesinya masing-masing, seperti
Ikatan Hakim Indonesia, Persatuan Advokat Indonesia, Ikatan Notaris Indonesia,
dan sebagainya.
Di
samping itu, agenda penegakan hukum juga memerlukan kepemimpinan dalam semua
tingkatan yang memenuhi dua syarat. Pertama,
kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk
tindakan-tindakan penegakan hukum yang pasti; Kedua, kepemimpinan tersebut diharapkan dapat menjadi teladan
bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integritas kepribadian
orang yang taat aturan.
Salah
satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah proses pembudayaan,
pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law socialization and law education).
Tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan dan pemahaman oleh para subjek hukum
dalam masyarakat, nonsens suatu norma
hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati. Karena itu, agenda pembudayaan,
pemasyarakatan dan pendidikan hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam
rangka perwujudan ide negara hukum di masa depan. Beberapa faktor yang
terkait dengan soal ini adalah (a) pembangunan dan pengelolaan sistem dan
infra struktur informasi hukum yang berbasis teknologi informasi (information
technology); (b) peningkatan Upaya Publikasi, Komunikasi dan Sosialisasi
Hukum; (c) pengembangan pendidikan dan pelatihan hukum; dan (d) pemasyarakatan
citra dan keteladanan-keteladanan di bidang hukum.
Dalam
rangka komunikasi hukum, perlu dipikirkan kembali kebutuhan adanya media digital
dan elektronika, baik radio, televisi maupun jaringan internet dan media lainnya
yang dimiliki dan dikelola khusus oleh pemerintah. Mengenai televisi dan
radio dapat dikatakan bahwa televisi dan radio swasta sudah sangat banyak dan
karena itu, kemungkinan terjadinya dominasi arus informasi sepihak dari pemerintah
seperti terjadi selama masa Orde Baru tidak mungkin lagi terjadi. Karena itu,
sumber informasi dari masyarakat dan dari pemodal sudah tersedia sangat banyak
dan beragam. Namun, arus informasi dari
pemerintah kepada masyarakat, khususnya berkenaan dengan pendidikan
dan pemasyarakatan hukum terasa sangat kurang. Untuk itu, pembangunan
media khusus tersebut dirasakan sangat diperlukan. Kebijakan semacam ini perlu dipertimbangkan termasuk mengenai
kemungkinan memperkuat kedudukan TVRI dan RRI sebagai media pendidikan hukum
seperti yang dimaksud.
PERAN ADVOKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu,
selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, badan-ban lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah
satunya adalah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab[5], sebagaimana selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003.
Ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU
Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan. Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan
satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1)
UU Advokat, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi
Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi
Advokat”. Oleh karena itu, Organisasi Advokat, yaitu PERADI, pada dasarnya
adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state
organ) yang juga melaksanakan fungsi Negara.[6]
Dengan demikian, profesi advokat
memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik
pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan
profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam
upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat
berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi.
Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan
organisasi advokat yang telah dijamin kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU
Advokat.
Kemandirian dan kebebasan yang
dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab
masing-masing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU
Advokat telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai
dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah
dilihat adalah dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum
menjalankan profesinya, yaitu:
“Demi
Allah saya bersumpah/saya berjanji :
v bahwa saya akan memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia;
v bahwa saya untuk memperoleh
profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun
juga;
v bahwa saya dalam
melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur,
adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
v bahwa saya dalam
melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan
memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau
pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang
sedang atau akan saya tangani;
v bahwa saya akan menjaga
tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan,
martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
v bahwa saya tidak akan
menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu
perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab
profesi saya sebagai seorang Advokat.
Sumpah tersebut pada hakikatnya
adalah janji seorang yang akan menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan,
diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap advokat tidak hanya
mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan
menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih
baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan.
Selain itu, untuk mewujudkan profesi
advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh
peran Organisasi Advokat. UU Advokat telah memberikan aturan tentang
pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat
yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 UU
Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan:
a) mengabaikan atau
menelantarkan kepentingan kliennya;
b)
berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau
rekan seprofesinya;
c)
bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan
yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan
perundang-undangan, atau pengadilan;
d)
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau
harkat dan martabat profesinya;
e)
melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau
perbuatan tercela;
f)
melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
INFRASTRUKTUR SISTEM
KODE ETIK ADVOKAT
Untuk
menunjang berfungsinya sistem hukum diperlukan suatu sistem etika yang
ditegakkan secara positif berupa kode etika di sektor publik. Di
setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu terdapat peraturan tata tertib
serta pedoman organisasi dan tata kerja yang bersifat internal. Di lingkungan
organisasi-organisasi masyarakat juga selalu terdapat Anggaran atau Pedoman
Dasar dan Anggaran atau Pedoman Rumah Tangga organisasi. Namun, baru sedikit
sekali di antara organisasi atau lembaga-lembaga tersebut yang telah memiliki
perangkat Kode Etika yang disertai oleh infra struktur kelembagaan Dewan
Kehormatan ataupun Komisi Etika yang bertugas menegakkan kode etika dimaksud.
Di samping itu, kalaupun pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
sudah ada, dokumen-dokumen itu hanya ada di atas kertas dalam arti tidak
sungguh-sungguh dijadikan pedoman perilaku berorganisasi. Pada umumnya,
dokumen-dokumen peraturan, pedoman atau anggaran dasar dan rumah tangga tersebut
hanya dibuka dan dibaca pada saat diadakan kongres, muktamar atau musyawarah
nasional organisasi yang bersangkutan. Selebihnya, dokumen-dokumen tersebut hanya
biasa dilupakan.
Demikian
pula halnya UU Advokat teleh menentukan adanya kewajiban menyusun kode etik
profesi advokat oleh Organisasi Advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan
profesi advokat. Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi
advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Berlaku
tidaknya kode etik tersebut bergantung sepenuhnya kepada advokat dan Organisasi
Advokat.
Untuk
itu perlu dibangun infrastruktur agar kode etik yang dibuat dapat ditegakkan.
Infrastruktur tersebut membutuhkan budaya taat aturan di lingkungan advokat itu
sendiri, baik aturan hukum negara maupun aturan berorganisasi termasuk anggaran
dasar dan rumah tangga serta kode etik profesi. Tradisi taat aturan inilah yang
masih harus dibudayakan secara luas. Selain itu, sistem dan mekanisme penegakan
kode etik juga harus dilembagakan melalui pembentukan Dewan Kehormatan yang credible diikuti dengan mekanisme
pengawasan yang tegas dan efektif.
Sebagai
organisasi profesi yang memberikan jasa kepada masyarakat, mekanisme pengawasan
yang dibuat tentu harus pula membuka ruang bagi partisipasi publik dan
menjalankan prinsip transparansi. Tanpa adanya transparansi dan partisipasi
publik, Organisasi Advokat tidak akan dapat menjalankan fungsinya meningkatkan
kualitas advokat demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan amanat UU Advokat.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan
Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia.
Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
_______________. “UUD
1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas di Masa Depan”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
______________. Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2005.
______________. Hukum
Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________. Sengketa
Kewenangan Antar Lembaga Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State.
translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.
Montesquieu. The Spirit of the laws. Translated by Thomas Nugent. London: G. Bell
& Sons, Ltd, 1914.
Phillips, O. Hood and Paul Jackson. Constitutional
And Administrative Law. Eighth
Edition. London: Sweet & Maxwell, 2001.
Advokat berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU
Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan UndangUndang ini (Undang – undang Advokat).
Selanjutnya menurut ketentuan undang – undang Advokat Bab II Bagian Kesatu
tentang Pengangkatan dalam Pasal 2 ayat (2).
ditegaskan bahwa
Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat setelah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud ketentuan
Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut : a. Warga Negara Indonesia, dst… s/d huruf i. Kemudian lebih lanjut dalam
Bagian Kedua tentang Sumpah, Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa sebelum menjalankan
profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut secara normatif
“Sumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”
merupakan salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang yang sudah
diangkat oleh Organisasi Advokat sebagai Advokat sebelum menjalankan praktiknya
dalam memberikan jasa hukum. Permasalahan timbul ketika dua tahun setelah
diundangkannya Undang – undang Advokat terbentuk 3 (tiga) Organisasi Advokat
yaitu PERADI, KAI dan PERADIN yang
masing – masing menyatakan diri sebagai Organisasi Advokat yang sah. Menyikapi
permasalahan tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa surat terkait
dengan perselisihan Organisasi Advokat terakhir dengan Surat No.089/KMA/VI/2010
tertanggal 25 Juni 2010 perihal Penyumpahan Advokat yang belakangan ini telah memicu kontroversi diantara ketiga
organisasi advokat yang telah terbentuk terkait penyumpahan advokat oleh Pengadilan
Tinggi. Sehubungan dengan kondisi tersebut permasalahan dalam diskusi ini terbatas
mengenai bilamana Advokat dapat beracara
di sidang Pengadilan.
[1] Pasal 1 ayat (3) ini
merupakan hasil Perubahan Keempat UUD 1945.
[2] Montesquieu, The
Spirit of the laws, Translated by
Thomas Nugent, (London: G. Bell & Sons, Ltd, 1914), Part XI, Chapter 67.
[3] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York; Russell
& Russell, 1961), hal. 115 dan 123-124.
[4] Untuk sementara ini,
para politisi sebagai legislator di lembaga perwakilan memang belum dapat
dikategorikan sebagai profesi yang tersendiri. Akan tetapi, di lingkungan
sistem politik yang sudah mapan dan peran-peran profesional telah terbagi
sangat ketat, jabatan sebagai anggota parlemen juga dapat berkembang makin lama
makin profesional. Politisi lama kelamaan menjadi profesi karena menjadi
pilihan hidup profesional dalam masyarakat.
[5] Huruf B Konsideran Menimbang UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
[6] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai
Pengujian Undang-Undang Advokat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar